Penembakan terhadap 30-an pekerja proyek pembangunan jembatan di Kabupaten Nduga, Papua, di tengah upaya pemerintah mengingkatkan pembangunan di sana menunjukkan bahwa situasi politik dan keamanan di Papua memiliki kerumitan tersendiri.
Aparat keamanan menyebut pelaku serangan itu adalah 'kelompok kriminal bersenjata' yang terkait dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), namun kelompok itu belum memberikan pernyataan apa pun.
Namun Komite Nasional Papua Barat (KNPB) —kelompok yang menyuarakan pemisahan Papua dari Indonesia melalui referendum— mengatakan, peristiwa itu terjadi karena Papua tidak mendapat hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
"Kami tak bisa mewakili OPM, tapi selama referendum Papua tidak dilaksanakan, akan ada selalu elemen dari masyarakat Papua yang menempuh jalan kekerasan," kata Ones Suhuniap selaku juru bicara KNPB.
Namun peneliti kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, menganggap terlalu dini untuk menyatakan bahwa peristiwa penembakan itu terkait dengan ideologi dan politik.
"Kalau bicara ideologi Papua merdeka itu kan basisnya banyak di Pegunungan Tengah. Tapi kan juga tidak serta-merta semua kejadian dikaitkan dengan persoalan ideologis," kata Adriana Elisabeth.
Sementara Koordinator KontraS, Yati Andriyani menyebut, peristiwa ini menunjukan bahwa "persoalan di Papua tidak hanya sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan."
- Peringati 1 Desember Papua, organisasi proPapua merdeka: Hampir 600 orang ditangkap di berbagai kota
- Puluhan triliun dana otonomi khusus dialirkan, mengapa masih ada tuntutan 'Papua merdeka'?Image copyright
Pembangunan Trans PapuaImage copyrightPembangunan Jembatan Kali Aorak di Kabupaten Nduga, Papua.
Penembakan yang menewaskan 31 orang (yang masih harus dikonfirmasi) itu terjadi di Kabupaten Nduga, pada 1 Desember, namun baru terungkap Selasa (4/12) setelah dikabarkan oleh kalangan gereja.
Juru bicara Kodam XVII Cenderawasih menyebut pelaku penembakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), yang terkait Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Bahkan, Menteri Pertahanan dan Keamanan Ryamizard Ryacudu menyebut, pelakunya "bukan kelompok kriminal tapi pemberontak.
Dalam keterangan kepada para wartawan di Jakarta, juru bicara Polri, M Iqbal mengatakan "Polri dan TNI akan mengejar, melakukan tindakan tegas terhadap kelompok-kelompok ini," cetusnya.
Namun, katanya, "motif serangan ini belum jelas".
Berbagai sumber menyebut, serangan bermula dari sebuah acara 1 Desember yang oleh kalangan Papua tertentu diperingati sebagai hari kemerdekaan Papua. Sejumlah pekerja melakukan pemotretan, dan sejumlah pelaku marah karena merasa dimata-matai, lalu melakukan serangan itu. Betapa pun, hal ini masih belum bisa dikonfirmasi.
Serangan itu merupakan yang terburuk di Papua selama beberapa belas tahun terakhir, dan justru terjadi ketika pemerintah berusaha menggiatkan pembangunan di kawasan yang selama ini dianggap dianak-tirikan oleh Jakarta.
Namun apakah serangan itu memang bermotif politik?
Belum tentu, kata sejumlah pengamat. Yang jelas, kata Yati Andriyani, koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), hal itu menunjukkan, "bahwa pendekatan pembangunan infrastruktur ... tidak serta merta dapat memulihkan situasi keamanan dan menyelesaikan kekerasan di tanah Papua, karena persoalan di Papua tidak hanya sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan."
"Selama ini tidak ada keseriusan dari Pemerintah untuk melanjutkan proses dialog dan menghentikan pendekatan keamanan dalam menangani konflik di Papua," katanya pula.
Hal senada disebutkan peneliti kajian Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth.
"Apa sih pengaruh dari pembangunan itu kepada perubahan sosial? Kemudian ada isu-isu lainnya. Kecenderungannya di Papua ada sebuah isu yang terkait isu lain. Jadi tidak selalu isu itu berdiri sendiri," ujar Adriana.
"Apakah kita semua paham budaya Papua, misalnya? Tension , perselisihan, itu kan mulainya dari yang hal-hal sederhana. Yang untuk kita bukan masalah, untuk orang lain masalah," imbuhnya, merujuk pemberitaan yang menyebutkan para pekerja yang meninggal dunia merupakan orang-orang luar Papua.
Di sisi lain, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang menyuarakan pemisahan dari Indonesia menegaskan, akar masalahnya adalah status Papua, kata Ones Suhuniap, juru bicara KNPB.
"Supaya tidak ada pembunuhan, pembangunan bisa jalan mulus, untuk mengakhiri konflik berkepanjangan, kami menawarkan referendum. Supaya rakyat Papua menentukan haknya, apakah mau tetap dengan Indonesia atau mau merdeka," tegas Ones.
Berdasarkan keterangan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, penembakan dilakukan terhadap pekerja pembangunan Jembatan Kali Aorak dan Jembatan Kali Yigi di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua.
Kedua jembatan merupakan bagian dari Trans Papua segmen 5 yang menghubungkan Wamena-Mumugu dengan panjang 278,6 km.
"Dengan kejadian ini, seluruh kegiatan kami hentikan," ujar Basuki, yang menurutnya telah mencapai kemajuan sebanyak 72%.
Padahal, menurutnya, tidak ada resistensi masyarakat dalam proyek pembangunan Trans Papua.
"Tidak ada warga yang menolak pembangunan Trans Papua ini. Ini dilakukan kelompok bersenjata. Tapi kalau warganya sendiri, semua sangat menerima pembangunan infrastruktur konektivitas ini," imbuhnya.
Karena persoalan-persoalan di Papua begitu pelik, Adriana Elizabeth menyarankan agar semua pemangku kepentingan—termasuk pemerintah dan kelompok pro-Papua merdeka—duduk bersama menyelesaikannya.
"Kita selalu konsisten mengatakan perlunya duduk bersama, kita bicara. Apa sih yang dimaksud pemerintah terhadap Papua dan Papua memahaminya seperti apa?"
Sejauh ini berbagai sumber menyebut bahwa korban tewas mencapai jumnlah 31 orang, termasuk seorang prajurit TNI. Namun TNI dan Polri menyebut, jumlah pastinya masih terus diselidiki.
Waka Pendam XVII/Cenderawasih, Letkol Inf Dax Sianturi menyatakan telah diberangkatkan personel gabungan TNI/Polri sebanyak 150 orang untuk mengevakuasi jenazah para korban, dan mencari para pelaku.
0 komentar:
Posting Komentar